Apapun yang menjadi tameng dan hujah menentang temporalitas bagi para pengusung kebatilan yang menetapkan kidamnya jawahir (inti-inti atom) di tengah melimpahnya dalil akan keterciptaannya, di antaranya (dalih mereka) bahwa raga (jism) tidak terlepas dari ciri-ciri (a’radh) yang melekat dan bergonta-ganti padanya; raga tidak akan mendahului dan tidak pula terdahului ciri-cirinya; maka apa-apa yang tidak mendahului sesuatu yang muhdats, ialah juga muhdats; dan apa-apa yang tidak tertinggal dan tidak tersisa setelah (lenyapnya) sesuatu yang fana, ialah juga fana; lalu mereka berkata: sesungguhnya kami hanya menyatakan bahwa Allah adalah raga dan cahaya sebagaimana kalian menyatakan bahwa Allah adalah dzat yang ada, hidup, dan bertindak sedangkan penindak yang hidup itu mustahil adanya kecuali sebagai raga menurut kesaksian kami–demikian pernyataan mereka–.

Maka kita katakan kepada mereka dengan taufik dari Allah: Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia lagi Maha Tinggi telah mengabarkan tentang diri-Nya bahwasanya Dia hidup, bertindak, dan ada. Dia tidak pernah mengabarkan bahwasanya Dia adalah raga ataupun citra sebagaimana yang kalian tuduhkan. Bahkan, Dia justru telah mengabarkan bahwasanya diri-Nya bukanlah raga dan telah pula menafikan sifat ragawi dari diri-Nya dalam firman-Nya: tiada yang semisal-Nya (QS al-Syura: 11), adakah kautahu yang sama dengan-Nya? (QS Maryam: 65), dan Dialah Allah, di petala-petala langit dan di bumi; Dia mengetahui samar kalian dan jahar kalian (QS al-An’am: 3), dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada (QS al-Hadid: 4), dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian tetapi kalian tidak melihat (QS al-Waqi’ah: 85), dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher (QS Qaf: 16), dan dan tidaklah kami pernah tiada (QS al-A’raf: 7). Yang semisal ini dalam kitab Allah sangatlah banyak, yaitu yang menunjukkan bahwa Allah bukanlah raga.

Dengan ini, kami katakan: Hidup, bertindak, mengetahui, dan berkuasa, semua ini adalah sifat-sifat terpuji yang menyucikan Allah dari segenap sifat-sifat lemah dan kurang. Sebab, sesiapa yang tidak hidup pastilah mati, yang tidak kuasa pastilah lemah, yang tidak mengetahui pastilah bodoh. Apapun yang bukan sesuatu dan tidak wujud pastilah tiada dan void. Jika kaukatakan “Allah itu bukan sesuatu” (sebagaimana klaim Neoplatonis), maka telah kauingkari keberadaan-Nya. Namun, bila kaukatakan “Allah itu bukan raga”, maka tiada yang kaunafikan melainkan raga khusus berbentuk yang telah dikenal lemah lagi bergantung sebagaimana yang telah kami sifati.

Adapun “hidup”, maknanya adalah bahwa tidak berlaku kematian dan/atau segala sifat kematian bagi Allah. Adapun “bertindak”, yakni “berkuasa”, maknanya adalah bahwa tidak berlaku kelemahan bagi Allah dan tidak pula Dia menyerupai segala yang lemah. Demikian pula dengan “mengetahui”, “mendengar”, “melihat”, dan segala sebutan asma dan sifat yang tinggi lagi indah.

Sebutan yang sama tidaklah menuntut makna yang pasti sama pula. Sebab, tidaklah mungkin Pencipta menyerupai ciptaan-Nya baik dalam hal rupa maupun makna, baik dalam hal sifat maupun laku, lebih-lebih dalam hal dzat. Bila makhluk bertindak dengan alat, bahan, dan pengerjaan, maka Allah bertindak tidak dengan alat, bahan, gerakan, maupun diam. Sesungguhnya perintah Allah jika Dia menghendaki sesuatu hanyalah dengan berfirman “Jadi!,” maka akan jadilah ia. (QS Ya Sin: 82) Yang dimaksud adalah firman tindakan, bukan firman ucapan. Dengan demikian, tidaklah mengenal Allah dengan inti sifat-Nya dan mengunggulkan-Nya dengan hakikat tauhid, sesiapa yang tidak mengunggulkan sifat-Nya di atas sifat-sifat para makhluk disertai dengan pengetahuan bahwa Dia senantiasa berterusan sebagaimana yang telah kami sebutkan.

Adapun dalil akan kebenaran apa-apa yang kami sampaikan adalah adanya ijma’ bahwa barangsiapa menyifati Allah dengan sifat-Nya yang Dia sematkan ke diri-Nya maka ia adalah muwahhid. Penyifatan yang berasal dari Allah inilah yang disebut tauhid. Maka bagaimana mungkin seseorang menjadi muwahhid yang bertauhid sedangkan ia tidak memisahkan sifat Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya?

Allah hanya berfirman kepada makhluk-Nya dengan bahasa yang mereka pahami sebagaimana firman-Nya, “Dan tidaklah kami utus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya agar ia menjelaskan kepada mereka,” (QS Ibrahim: 4) hingga akhir ayat. Maka, rasul yang diutus itu pun menjelaskan kepada mereka perihal firman-Nya, “Tiada yang semisal-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” (QS al-Syura: 11) agar mereka beriman kepada yang gaib, yang tidak terukur oleh akal mereka, dan tidak pula terumpamakan oleh pikiran mereka.

Sebab, akal tidak mampu menjangkau kecuali apa-apa yang terjamah oleh indera dan yang semisalnya atau apa-apa yang diketahuinya lewat pendalilan dan kiasan dari hasil penginderaan. Dan pada pendalilan para nabi ﵈–semoga shalawat dan salam tercurah atas mereka–terdapat penjelasan yang manjur dan hujah yang ampuh atas sesiapa yang mengingkari sifat-sifat Allah ta’ala di saat mereka bersaksi atas kaum mereka dan mendebat kaum mereka tentang ciptaan-Nya sedangkan mereka tidak mengumpamakan-Nya dengan selain-Nya ataupun menyifati-Nya dengan sifat ciptaan-Nya sama sekali.